Dilema Naik Pesawat

Posted on Sabtu, 03 Maret 2012 |
welcome to adisutjipto airport

   Libur tlah tiba…
   Libur tlah tiba…
   Hore!
   Hore!







Hoho… ini kali pertama saya pulang kampung semenjak kuliah di Jogja. Saya sudah pesan tiket dua bulan sebelumnya demi mendapatkan tiket promo yang harganya bisa setengah harga tiket normal itu. Setelah mengubek-ubek internet mencari tiket promo termurah , akhirnya saya mendapat tiket seharga delapan ratus ribuan via Sriwijaya (beberapa hari setelah itu saya diberitahu tahu teman sekampung saya kalau dia dapat tiketnya seharga tujuh ratus ribuan, hiks). Berhubung minggu kemarinnya saya dikirimi email bahwa pesawat saya delay hingga jam 12.45 maka saya berencana berangkat dari kosan ke bandara dari jam 10 saja, takut ditinggal pesawat karena hal-hal tak terduga di jalan, especially “macet”.

Setelah menyelesaikan mandi wajib kembang tujuh rupa, saya segera packing yang dari kemarin-kemarin tidak kelar-kelar juga akibat tsunami malas 9.2SR yang mengguncang batin saya. Oleh-oleh yang kemarinnya saya beli di malioboro bareng Yandi (urang awak nan elok bana ko ha) pun sudah dipaket dengan apik dan menarik hanya dengan kresek bekas Indomaret. They are : bakpia pathok (wajib), tela cake, manisan buah, dll.

“Teng… teng… (sepuluh kali)” jam raksasa kerajaan asrama DP telah menunjukkan jam 10, itu artinya saya harus segera berangkat ke bandara sesuai rencana (bukan karena takut baju pesta dan kereta labu saya yang berasal dari kekuatan sihir ibu peri lenyap). Saya memakai kaos putih (yang juga beli kemarin) bertuliskan “Jogja” dengan font-nya filled motif batik. Barang bawaan saya yaitu koper Polo King andalan saya ketika bepergian jauh yang isinya baju-baju lengkap dengan kancut-kancutnya, kemudian tas Polo Millano (masih Polo, *pamer) hitam multifungsi berisi laptop dimana tas ini sering saya bawa ke kampus, dan oleh-oleh dikresekin tadi. Sebelum mengunci kamar saya menyempatkan diri sebentar say goodbye ke kamar saya, menatapi sekeliling kamar saya dengan penuh perasaan, meresapi energi mistis yang ada di kamar saya agar kamar saya tetap selalu aman selama ditinggal dengan cara berkomunikasi ke makh… eh, amit-amit dah! Setelah memerhatikan tiap sudut kamar memastikan bahwa tidak ada barang yang tertinggal saya baru sadar bahwa kamar kos saya sudah bablas seperti habis kemalingan, ternyata barang-barang saya sampai yang tidak penting saya bawa semua akibatnya saya kerepotan membawa semua barang bawaan saya itu selama berjalan menuju halte busway. Saya heran kenapa juga saya bawa barang sebanyak ini? Agak malu juga diliatin ketika pamit sama resepsionis, petugas asrama, dan teman seasrama yang berpapasan waktu itu. Diliatin orang dijalan, dan juga ketika saya disapa sama pedagang lontong sayur dan beberapa pedagang kaki lima lainnya di trotoar stadion Mandala Krida sepanjang berjalan ke halte, apah? disapa pedagang? iyah, karena memang, saya orang yang murah hati, bukan murah bodi, selalu ramah tamah pada siapa saja dan mengayomi masyarakat kecilsigh. Hehe... sebenarnya karena saya memang sering makan di trotoar sana.

Perjalanan menuju bandara aman dan lancar, namun tidak selancar mbak kernet busway yang berniat menolong saya nentengin barang-barang saya keluar bus ketika saya sampai. Waktu itu saya kerepotan menyeret barang-barang saya keluar bus kemudian mbak kernet itu mencoba membantu saya, tapi saat baru disentuh sebentar belum sempat koper saya ditariknya dia sudah bilang :
“Maaf mas, berat”
“Gak apa-apa kok mbak, makasi, saya bisa sendiri kok” balas saya, orang yang murah hati, bukan murah bodi , selalu ramah tamah pada siapa saja dan mengayomi masyarakat kecil - apasih. Padahal sebenarnya barang-barang saya tidak berat-berat amat.

Setibanya di bandara “sesuatu” yang saya cari terlebih dahulu adalah pulsa. Di pintu bandara saya bertemu seorang bapak-bapak berbadan tegap, berkulit sawo matang, berwajah Xanana Gusmao , penampilannya bak pensiunan tentara. Namun tidak sepadan dengan suaranya yang ternyata cempreng. Ia tempat saya bertanya konter pulsa terdekat.
“Di dalam bandara pulsa mahal, mending beli di seberang jalan sana aja dek, di dekat sana bla bla….” Jawab bapak tadi panjang kali lebar.
Kalo soal harga di bandara mah saya juga udah tahu kalo segalanya mahal. Konter pulsa rujukan si bapak ternyata jauh juga. Saya malas kalau mesti kerepotan lagi jalan kaki jauh-jauh sambil bawa barang-barang saya. Ya sudah, saya putuskan beli pulsanya di dalam bandara saja karena ketika saya minta tolong nitip barang saya ke dia agar saya bisa jalan kaki saja ia menolak karena ia cuma sebentar berdiri disitu. Di pintu masuk bandara saya bak kembang desa yang dikirim menjadi TKI ke negeri jiran pertama kali berada di bandara, saya celingak-celinguk memperhatikan harga-harga jejeran restoran disana nyambi mencari konter pulsa. Meskipun saya sudah beberapa kali ke bandara, tapi saya tetap penasaran dengan harga-harganya, mencari rekor harga termurah makanan di bandara. Contohnya Dunkin Donats atau es krim Robins, harganya menanjak dua kali lipat dari harga standar jika dibandara. Alhasil saya menemukan konter pulsa, you know what? Pulsa lima ribu ternyata dijual seharga sembilan ribu! Asemm…pak! >.<

Sekitar jam sebelas saya check-in. Petugas check-in mengecek e-tiket saya agak lama, dari situ feeling saya mulai tidak enak. Baru saja melewati proses metal detecting, saya ditawari jasa pengikatan barang di depan boarding pass oleh seseorang, saya yang mulai gelisah karena boarding maskapai saya masih belum buka juga langsung meng-iya-kan saja.
“Sepuluh ribu mas!” tiba-tiba saya dimintai bayarannya. Buset! Perasaan ini tuh gak bayar deh karena seingat saya waktu di BIM (Bandara Internasional Minangkabau) jasa kayak beginian tidak bayar. Namun galau saya tidak berhenti disitu, saya masih gelisah tentang boarding saya yang belum buka juga. Seharusnya jam segini sudah buka, pikir saya. Ternyata mas jasa mengikat barang tadi memperhatikan ke-cengo-an saya. Ia menanyakan dan minta lihat tiket saya, kemudian ia agak lama dan kebingungan melihat e-tiket saya entah karena dianya tidak bisa baca atau mungkin bisa tapi tidak bisa mengejanya
“Eng…. tunggu aja mas” katanya. Saya memperhatikan layar LCD jadwal keberangkatan. Pesawat keberangkatan ke Padang berangkat jam 10.00, mungkin itu jadwal ke Padang shift pagi pikir saya, lalu saya untuk pertama kali sejak e-tiket ini dicetak memperhatikan e-tiket saya sendiri, disana tertulis pesawat berangkat jam 10.00! Yang tertanam dipikiran saya saat itu adalah jadwal delay pesawat saya di e-mail yaitu jam 12.30, tapi di layar tidak ada keberangkatan ke Padang jam 12.30. Saya mulai panik, makin lama makin jadi, ada yang tidak beres dengan e-mail kemarin. Saya gelisah dan bertanya pada seorang security dengan tampang kusut.
“Permisi pak, bagian informasi penerbangan dimana ya?”
“ Maskapainya apa mas?”
“Sriwijaya.”
“Coba cari di luar, di depan ada berjejer layanan informasi beberapa maskapai, di arah sana”
“Lah! emangnya boleh keluar lagi pak?!”
“Bisa kok, lewat sana!”
“Makasi pak”

Saya bergegas, sedikit berlari keluar memerhatikan betul konter agen tiap-tiap maskapai. Setelah menemukan konter Sriwijaya saya langsung antri. Di depan saya ada bule, rambutnya kriwil memakai kemeja pantai motif bunga-bunga berwarna merah. Saya mendengar dialog bule itu dengan penjaga konter dalam bahasa inggris, gini-gini saya pernah dapat nilai rapot sembilan untuk mata pelajaran bahasa inggris, jadi saya bisa sedikit menangkap pembicaraan mereka bahwa sepertinya ada masalah kesalahan nama keluarga si bule di kartu yang sedang ia pegang, saya tidak tau kartu apa, pokoknya berkaitan dengan perjalanan luar negri. Ekspektasi saya kalau saya bakal menunggu lama ternyata memang benar. Saya tidak tenang, “woi! Cepetan donk mister! buruan!” Saya teriak-teriak dalam hati.
di dalam keramaian aku masih merasa "galau"
Lama menunggu akhirnya si bule pergi juga. Dengan terbata-bata plus tempo yang cepat saya mengadu ke mas customer service itu.
“Mas, ini benar kan berangkatnya jam 12.30?” sembari memperlihatkan tiket.
“Kalau ini sudah berangkat mas” *Deg!
”Tapi minggu lalu saya dikirimin e-mail kalau pesawatnya delay sampai jam 12.30.” Saya baru menyadari kalau itu tidak masuk akal memang, masa yang semestinya berangkat jam 10 delay-nya sampai jam 12.30. Kemudian customer service tadi mengecek di komputernya, sementara itu saya harap-harap cemas, dalam hati saya meminta keajaiban dari tuhan “Ya tuhan semoga aja yang saya takutkan tidak benar, semoga aja tidak.” Kemudian dia menoleh ke saya dan menatap saya dengan pandangan iba *tidak ada harapan.“Maaf mas, yang delay itu penerbangan dari Jakarta, yaitu penerbangan Jakarta-Padang pas transit, kalau dari sini tetap.”
Jderr…!!! Saya serasa disambar petir (ngasal, padahal belum pernah disambar petir, gatau rasanya kayak gimana). Tiba-tiba petir, kilat, langit menjadi kelam, ditambah raungan serigala menyertai suasana gelap itu. Begitulah gambaran cuaca Jogja yang cerah di mata alam bawah sadar saya yang terserang hang waktu itu. Pikiran saya blank, kosong, lemas, campur baur, saya mengurut-ngurut kening saya, depresi. Mbak-mbak disebelah mas itu curi-curi pandang ke saya dengan mimik iba. Ia melengos lagi ketika saya pandang balik. Mas-nya bilang saya tidak bisa dapat credit refund, karena tiket saya tiket promo, kemudian ia menawarkan saya rebook flight tapi kena charge 50% dari harga normal hari itu buat penerbangan besok.
“Kalau iya saya kena berapa?” Tanya saya.
Dia lalu menghitung totalnya dengan mengetik-ngetik keyboard di depannya "tik tak tik tak…" begitulah suaranya agak lama sembari saya menunggu dengan wajah masam. Sedangkan mbak-mbak di sebelahnya tadi masih saja curi-curi pandang ke saya, tapi saya tidak peduli karena pikiran saya sudah mengambang tidak fokus.
“Jumlah totalnya 877.000 mas!” Kata penjaga konter tadi.
WTH! Itu kan tidak jauh beda dengan harga tiket promosi yang saya beli, tidak sampai 877.000 malah! Berarti harga hari itu sudah mencapai... 1,6 jutaan!!
Anjirr…! Perasaan saya tambah sesak, sementara saya ingat uang saya di ATM tinggal 700.000-an, tapi saya tetap kepingin pulang, jalan satu-satunya adalah meminta ayah mentransfer uang tambahan.
“Jadi gimana mas? Jadi atau mau dibatalkan?” kata mas tadi memecah pikiran saya. Saya tidak enak juga sama orang yang ngantri dibelakang saya.
“I i iya, jadi, tapi bayarnya? sekarang?”
“Bisa besok kok, nah, ini disimpan buat besok ya!” Katanya sambil memberikan saya nota kecil.
“Besok berangkat masih jam 10, datangnya agak pagi aja ya mas, prosesnya agak lama soalnya.”. Berkali-kali dia menekankan agar saya datang lebih pagi. Sepertinya dia juga prihatin takut saya ketinggalan pesawat lagi.

Saya meninggalkan konter agen tadi dengan badan lunglai. Mungkin kalau tidak ada orang yang melihat saya bakal nangis guling-guling dilantai bandara itu. Saya menyeret kembali barang bawaan saya dengan perasaan sedih seolah-olah saya sedang di sebuah adegan sinetron dimana saya diusir oleh ibu tiri dari rumah sendiri. Saya bingung mau kemana. Kalau saya balik asrama saya malu, tidak terbayang bagaimana reaksi orang-orang asrama begitu tau saya balik lagi karena ketinggalan pesawat, selain itu saya juga takut besoknya telat karena macet, soalnya asrama-bandara lumayan jauh. Saya mutar-mutar bandara lalu duduk di pojokan, bosan, saya buka laptop cek facebook, twitter, ngenet sampai baterainya soak. Saya sempat niat buat bermalam di bandara saja, tapi saya pikir-pikir lagi kenapa tidak cari penginapan dulu aja, siapa tahu ada yang harganya terjangkau, tidur di bandara malu diliat orang, manja amat.
Saya kemudian bangkit, berpikir bahawa semua ini hanyalah dunia belaka. Dalam hati saya berseru “Ayo Deki! Kamu bisa!!”.
Diiringi lagu “Eye of The Tiger”-nya Survivor saya berdiri, bangkit. Saya terus bernyanyi membereskan barang bawaan saya. Nyanyian suara saya menggema di tiap sudut bandara. Kemudian saya berjalan dengan semangat 45 keluar bandara bernyanyi mengangguk-anggukkan kepala seiring dentuman musik. 


Risin' up!
 back on the street
Did my time, took my chances
Went the distance now i'm back on my feet
Just a man and his will to survive

So many times 
It happens too fast
You trade your passion for glory
Don't lose your grip on the dreams of the past
You must fight just to keep them alive

It's the eye of the tiger
It's the thrill of the fight
Risin' up to the challenge of our rival
And the last 
known survivor stalks his prey in the night
And he's watching us all with the
Eyeeeee....


Pas dibagian lirik itu saya sampai di gerbang bandara. Saya berbalik menoleh bandara, lalu mengacungkan jari tengah saya ke bangunan itu. Kemudian melanjutkan bagian terakhirnya...

OF THE TIGER....

Yeaaahhh….! 

Penilaian anda benar, saya tidak mungkin melakukan hal itu, karena saya bisa disangka orang gila oleh orang-orang yang melihat saya disekitar.







Bersambung...

2 komentar:

Anonim mengatakan...

tes

Anonim mengatakan...

fotonya kurang bagus..gada fotoku...jadi kelihatan nggak inovasi gitu

Posting Komentar

Jika anda tidak mempunyai akun LiveJournal/WordPress/TypePad/AIM/OpenID, silakan beri komentar sebagai Anonymous (tanpa identitas) atau Name/URL (via email)

Followers