Desperate Hibernate

Posted on Minggu, 06 Mei 2012 | 0 komentar

Sebenernya masih banyak yang ingin saya share disini. Banyak kejadian kocak dan menarik yang saya alami namun saya lewatkan menulisnya disini. Mulai dari pengalaman naik kapal penyeberangan selat Melaka yang di luar ekspektasi saya, pengalaman makan sepi (jengkol yang dikubur berhari-hari) dan ikan cue (ikan tongkol khas jabar yang pas belinya udah bisa langsung dimakan) di Sukabumi, atau cerita tentang kejailan anak-anak asrama, cerita tentang meet up bareng komunitas Tumblr regional Jogja, cerita waktu saya terperangkap di tengah-tengah demo harga BBM, dan banyak deh pokoknya.



Tapi... *np musik melankolis* , mulai sekarang saya absen nulis dulu sampai 2 atau 3 bulan ke depan, atau gatau juga sih, mungkin paling cepat bisa 1 bulan. Ada sedikit projek yang sedang saya jalanin. Kapan-kapan deh saya ceritain. 

Jadi untuk penggemar saya yang tersebar dari Sabang sampai Merauke, yang jumlahnya tak terhitung ratusan juta jiwa, pembaca setia dari anak-anak, orang tua, hingga kaum waria (mulai deh lebay-nya saya, padahal viewer aja belum sampai 1000, itupun ga semuanya baca). Saya mohon pamit.

Terima kasih atas supportnya selama ini, terima kasih kepada kru-kru yang bertugas, saya tidak mungkin bisa menulis di sini tanpa dukungan dan kinerja kalian semua, saya tidak mungkin bisa berdiri disini tanpa kiriman sms yang terus mengalir dari kalian. sungguh luar biasa.
berikut persembahkan kecil buat kalian semua dari salah satu singlet hits saya
*ngode komposer nada awal pake kunci D*

ukh, ehm! EHEMM...!! check, check, check sound check sound, tes-tis-tes-tis (sambil sesekali terdengar bunyi melengking dari mikrofon)
okeh...
semua... karena cinta, semua... karena ciiinta, tlah mampu diriku dapat berdiri tegak, trimakasih cintaaaaaa... :')
And... for all my fans... *kiss bye*

Saya        : *ditimpuk sendal, botol air mineral, dll*
Penonton : "Woi! udah cepetan turun! kelamaan!"


Yaah... begitulah nasib orang terlalu ganteng, kadang fans karena terlalu fanatik bawaanya gemes melulu pengen menimpuk idola mereka dengan benda apapun yang ada disekitar mereka.


So...

Sepanjang Jalur Timur Sumatera

Posted on Rabu, 02 Mei 2012 | 0 komentar
Tepatnya Rabu 15 Februari lalu saya memulai keberangkatan kembali ke Jogja. Kembali kuliah. Karena saya belum pernah sama sekali ke pulau jawa via jalur darat maka saya memutuskan memilih transportasi bus, oleh karena itu beberapa hari sebelumnya saya minta saran dan tips-tips dari pak gapuak tetangga yang sebenernya notabene saudara saya juga tentang semua-muanya berkaitan dengan perjalanan via bus. 

Pada hari keberangkatan setelah dapat wejangan dan uang jajan dari orang tua, saya pamit kemudian tancap gas menuju kantor bupati yang berlokasi di Kayu Aro, jadi ceritanya gini kata bapak tebe, eh, kata pak gapuak kalau mau dapat ongkos agak murahan (biasalah,darah minang) beli tiketnya jangan lewat agen tapi nyetop di jalan aja. Tapi karena sudah banyak juga agen yang sudah tahu taktik calon penumpang ini, sekarang agen sampai-sampai ngikutin masuk bus agar yang nyetop di jalan tidak bisa berkilah. Nah, pak gapuak bilang kalau biasanya si agen ngikutin bus cuma sampai Lubuk Selasih, oleh karena itu saya nyetop busnya mesti agak jauhan dari lubuk selasih yaitu di Pintu Angin, gatau juga kenapa namanya Pintu Angin, tapi saya malah berencana turun lebih jauh lagi, di depan kantor bupati. 

Tanpa diantar dan ditemani (sebelumnya ayah marah-marah ke abang saya karena dia males ngantar saya, padahal kalau pakai mobil sendiri tentu nantinya saya gak bakal kerepotan apalagi saya mau perjalanan jauh berhari-hari pula. Walaupun begitu saya sih no problem lah, kalua dia gak mau nganter ya sudah) saya menaiki minibus yang di dalamnya saya duduk gencet-gencetan. Koper saya di taruh di atapnya bersama barang-barang para pedagang yang mau berjualan ke kota solok. Selain ibu-ibu yang mau berjualan, ada juga penumpang yang sepertinya mau ke ladang, dan ada juga yang berpakaian rapih seperti saya (belagak). Soal ongkir, saya tidak mau menanyakan berapanya ke kernet, karena saya sudah tau ongkosnya 5000 (sekitar 1 jam perjalanan). Kalau nanya, nanti pasti harganya dilebihkan, oleh karena itu saya kasih uang 5000 pas gak lebih gak kurang dan gak ada kembalian plus gak ada komplain dari uda kernet. 

Eh, pas banget, sesampainya, baru aja saya turun dari minibus tadi saya langsung di klakson sama supir bus A.N.$ (nama salah satu bus antar provinsi dan juga bus rekomendasi pak gapuak untuk soal harga) yang lewat depan saya. Saya mengangguk dan kemudian busnya berhenti. Seorang uda-uda kernet keluar kemudian langsung mau mengangkat koper saya, tapi seketika itu saya ogah, dengan cepat saya menarik kembali koper saya yang mau dimasukkan ke bagasi olehnya, eits! Kan mesti kesepakatan dulu donk, mwehehe…. “Bara ongkos da?” saya nanya, “kama tu diak?”, “Bandung” “awak kecekkan se a, ongkosnyo 310 ribu”, “ndak duo sangah se?”, “ndak bitu do, tambah lah 20 lai da” sambil merangkul pundak saya. Akhirnya kita deal ongkosnya 270 ribu, lumayan hemat 40 ribu bisa buat makan tiga hari mah kalau di Jogja (ga ada translate ya, yang penting kan udah tau kesimpulannya apa). 

Bus melewati kota Solok kemudian berenti gaje “agak lama” di terminal kota solok. Lama setelah itu saya baru tau alasannya setelah ada sebuah bus yang datang kemudian tau tau kami dipindahkan ke bus itu. Saya yang awalnya duduk sendiri dan sudah merasa lapang jadi pindah ke bus itu yang sudah setengah penuh, walau begitu saya ternyata tetap dapat berlapang-lapang karena tetap tidak kebagian teman sebelah, saya bisa menaruh jaket, kantong oleh-oleh yang mau dibagikan ke teman-teman di Jogja dan snacks (baca : banyak snack) di kursi sebelah. Tinggal beberapa kursi yang masih kosong dalam bus termasuk kursi di sebelah saya ini. 

FYI, lintas sumatera ini ada 2 yaitu lintas barat dan lintas timur, kalau gak salah juga ada lintas tengah, saya lupa. Jalur bus yang saya tumpangi ini bakal menempuh jalur lintas timur. Kata uda yang duduk di sebelah saya (akhirnya diisi juga, karena sampai di Sawah Lunto bus sudah terisi penuh) jarang-jarang ada bus yang lewat lintas timur dan itu juga bakal pengalaman pertamanya dia, padahal sudah tujuh tahun di Jakarta dan bisa empat kali pulkam dalam setahun tidak pernah lewat lintas timur yang konon baru itu. 
Perjalanan saya paling jauh lewat jalan ini sampai detik itu baru sampai Sawah Lunto, tepatnya sampai Waterboom Sawah Lunto, setelah-nya saya sudah tidak kenal lagi daerah yang dilewati bus.

For bukti! (bukti apa narsis? Hehe)
Sorenya kami sampai di Sungai Rumbai. Seiring berjalannya waktu akhirnya saya tau juga dimana Sungai Rumbai itu berada. Dulu pas SMA di Padang jika pulang kampung saya sering liat bus jurusan Sungai Rumbai lewat, saya pertama dengar nama daerah itu ya dari bus yang lewat searah dengan kampungku itu. Makin lama setiap pulkam saya jadi terbiasa dengan nama itu dan kini akhirnya saya tau dimana Sungai Rumbai itu, ternyata termasuk daerah terluar Sumbar yang merupakan kota kecil dan berbatasan dengan propinsi Jambi. Tidak tau kenapa dan alasannya apa, sepanjang perjalanan melewati kota ini saya merasa penasaran untuk berkeliling kota ini, tapi apadaya saya sedang berada di bus Padang-Jakarta, bukan Padang-Sungai Rumbai bus yang sering saya liat pas SMA dulu setiap kali pulkam itu sehingga saya tidak bisa turun berleyeh-leyeh dulu disana. Mendengar obrolan orang di dalam bus katanya orang-orang sini pada keluar malam hari, “disitu hampir setiap malam ramai oleh warga sini” kata seorang bapak menunjuk sebuah lapangan bola nan becek gak ada ojek yang sedang kami lewati. Beberapa jalan di Sungai Rumbai digenangi air bahkan ada yang dalamnya selutut dan beberapa jalan ada yang berlubang menambah dalam genangan air yg membuat kami dalam bus digoyang ajip-ajip ketika bus jalan diatasnya. 

Untuk pertama kali bus berhenti istirahat di rumah makan di pinggiran kota ini. Saya ingat kalo kata bapak tebe, eh, kata pak gapuak kalau makan dibungkus saja alsebab kalau dihidangkan lebih mahal. Ebuset! gataunya bungkus kena 20 ribu! Awalnya Saya kira paling mahal makan dijalan bakal 15 ribuan, itu paling mahal yang saya kira loh! Standarnya paling 10-12 ribuan kalo bungkus, sama kayak rumah makan di Padang biasanya, Eh gataunya kok lebih mahal ya? Sepertinya pihak rumah makan benar-benar ambil kesempatan memeras kami yang mau berjalan jauh (semua rumah makan yang kami singgahi tiap provinsi mematok harga yang sama waktu saya bungkus). Saya makan dalam bus bersama beberapa penumpang lainnya yang lebih memilih ngirit membawa bekal sendiri dan selebihnya makan dirumah makan, dihidangkan. Sepertinya cuma saya yang bungkus dan dibawa makan dalam bus. Karena porsinya lumayan banyak, saya cuma menghabiskan setengahnya saja, setengahnya lagi saya bungkus kembali untuk dimakan di pemberentian bus berikutnya (setelah itu bus berenti makan lagi di Jambi sekitar jam setengah 12 dini hari) sehingga saya tidak perlu beli lagi yang otomatis keluar duit lagi. Ketika busnya selesai dan jalan lagi, semua penumpang sudah masuk kembali, saya bilang ke uda sebelah saya yang tadi ikut makan di rumah makan “maha makan disiko yo da”, “standar” katanya, hah! Segitu di bilang standar! “bara kanai tu da?” “21000”. Gilee… kirain dia bilang standar tadi karena bisa dapat lebih murah, kok bisa dibilang standar ya?? 

Malam harinya kami sampai memasuki kawasan provinsi jambi, Kesan pertama saya pada Jambi adalah, propinsi ini lengang, tidak sepadat propinsi lainnya, ternyata memang kenyataannya propinsi ini kepadatannya setengah dari kepadatan Sumatera Barat, sepanjang malam dan sepanjang bobo-bobo ayam di dalam bus yang kurang nyaman dimana gak bisa meluruskan kaki, gak bisa bebas tiduran dengan gaya yang paling nyaman, bus melintasi propinsi jambi dari salam hingga khatam alias dari ujung ke ujung hingga kami sampai di Sumsel dan melewati kota Palembang sekitar jam 10 pagi esoknya. 
Welcome to South Sumatera

Embun pagi di Palembang
Meski cuma lewat pinggiran kota Palembang, gak pinggir-pinggir juga sih. Saya melihat banyak pembangunan bangunan baru baik yang sedang on hold maupun yang keliatannya baru jadi. Bangunannya modern dan unik-unik pula, tidak asal gedung tinggi saja. Yang saya ingat juga, saya sempat berdecak kagum ketika melewati sebuah gedung sekolah terpadu TK-SMA disana, saya tidak pernah melihat gedung sekolah sebesar dan semegah itu di Padang, coba gedung sekolah saya dulu seperti itu. 

Sungai Musi
Sumatera selatan ini mungkin kebanyakan daratannya adalah rawa, apasebab, disepanjang jalan banyak sekali saya temukan rumah-rumah yang ditinggikan. Meskipun pembangunan di Sumsel keliatan maju tapi kebanyakan rumah-rumah di daerah atau kota-kota kecil masih semacam rumah-rumah tua dari papan dan kayu yang ditinggikan sehingga terdapat kolong besar dibawah rumah yang digenangi air rawa atau sungai, bahkan di tanah yang sudah tidak rawa pun rumah-rumahnya masih begitu, rata-rata juga rumahnya tidak dicat. 


Rumah-rumah di Sumatera Selatan
Beda lagi ketika melewati Lampung, disana ada banyak kebun yang luaaaaaaas banget! Tidak ada saya temukan kebun-kebun kecil (milik warga), semuanya kebun spesifik satu jenis tanaman yang super luas. Ada kebun tebu, kebun pohon karet, kebun singkong, kebun apalagi gitu. Beberapa kebun juga ada yang berlokasi sama dengan pabriknya yang berdiri di tengah-tengah atau tepatnya di kawasan kebun itu sendiri, nah, itu juga, Lampung juga punya banyak pabrik, karena beberapa kali saya melihat pabrik-pabrik besar berdiri sepanjang perjalanan. Tulang Bawang (masih propinsi Lampung) adalah satu-satunya nama daerah baru yang bisa saya ingat sampai sekarang sejak perjalanan dari Padang hingga Bakauheni ini, karena yang berkesan dari daerah ini ternyata banyak sekali orang-orang hindu disana. Mereka membuat pura-pura atau tempat ibadah sendiri di halaman rumah, warna-warni dan cantik, bahkan lebih bagus dan juga ada yang lebih besar dari pada rumah mereka sendiri. Disepanjang jalan berjejer rumah-rumah dan pura-puranya itu yang membuat Tulang Bawang ini unik. Jujur ini pertama kali saya liat komunitas Hindu di Sumatera. Bangunan kantor bupati dan kantor instansi lainnya di Tulang Bawang juga bagus-bagus. 
Kemana ku harus mencari Lampung?

Plank bank daeah Lampung pun tak ketinggalan di jepret
Errr... macett!
Sore sekitar jam empat saya dan rombongan (cieh, rombongan haji kalleee) sudah sampai di kota apagitu namanya lupa, letaknya di Lampung Tengah yang menghantarkan kami sampai di Bandar lampung sekitar jam 6 sore diiringi hujan sebentar, kami terjebak macet yg lumayannn lama sekitar 1 jaman di pinggiran kota Bandar Lampung. Uda yang duduk di sebelah saya misuh-misuh karenanya. Oiya, ada kejadian konyol tentang si uda di sebelah kanan saya ini, jadi ketika kami masih di Sumsel sore-sore, si uda ini ngantuk, merem melek, sampai dia tiba-tiba nyandar (kepalanya) di bahu saya, sebentar-sebentar dia bangun kemudian menegakkan kepalanya lagi dari bahu saya, kemudian ngantuk, merem, bersandar di bahu saya, bangun lagi duduk tegak, begitu seterusnya, tapi siklus ini berenti sampai saya yang merasa agak kurang nyaman dengan bau kepalanya, entah pakai minyak rambut merk apa dan juga mungkin bau si uda yang merokok ketika kepalanya disandarkan di bahu saya (maaf, bukannya saya sok tapi emang kenyataannya begitu, coba aja kalo anda merasakan waktu itu), lama-lama saya niat untuk memajukan badan saya ketika gerak geriknya sudah menunjukkan fase mau bersandar di bahu saya. Sungguh saya cuma niat agar dia bangun ketika menyadari sudah tidak ada sandaran di sebelahnya (saya), dianya malah keterusan. Waktu saya sudah memajukan badan saya, saya tidak liat karena posisinya sudah di belakang saya, pandangan saya lurus kedepan, tiba-tiba terdengar bunyi kepala si uda yang sepertinya membentur dinding bus di samping kiri saya (saya duduk dekat jendela, dia duduk di sebelah kanan saya) diiringi dengan air mineral yg saya taruh di sandaran tangan dekat dinding itu jatuh, seketika itu saya nengok ke belakang, si uda sudah duduk manis tegak dengan mata yg terbuka lebar kemudian seorang penumpang yang duduk di belakang saya mengambilkan air mineral saya yang jatuh ke belakang. Maaf ya da…. 

Yang membuat saya tidak sabaran adalah menaiki kapal penyeberangan, secara itu bakal jadi pengalaman pertama. Terlepas dari macet sudah sekitar jam setengah 8 malam, setelah itu kami meneruskan perjalanan menuju pelabuhan Bakauheni melewati kota Bandar lampung. Mungkin ini juga imbas dari Lampung yang terletak di ujung Sumatera, membuat Lampung banyak memiliki pabrik apalagi di sepanjang garis pantai di Bandar Lampung sepanjang perjalanan menuju pelabuhan Bakauheni. Kelap-kelip lampu pabrik yang ramai menjadi pemandangan tersendiri. 

Kami sampai di Bakauheni jam 10 malam. Saya agak kesal dengan si supir yang kata sebagian penumpangnya lelet (saya kan belum pernah naik bus, jadi tidak bisa menilai cepat atau lambat sampainya), kesalnya saya tidak naik kapal penyeberangan pas siang hari.

Followers