Unpassed Flight is Expensive Experience

Posted on Sabtu, 10 Maret 2012 | 0 komentar
Fyuuuhhh…. Berkat ketabahan dan ketegaran hati saya, sekarang saya sudah mulai sumringah melangkah meninggalkan bandara. Ketinggalan pesawat untuk pertama kalinya adalah “sesuatu” pengalaman berharga dan mahal harganya. Iya, mahal. Pengalaman seharga 870.000 (harga tiket awal yang saya beli) itu menjadi pelajaran kedepannya bagi saya .
(Silakan baca post sebelumnya disini)

penginapan pertama yang saya temukan
Planning saya saat ini adalah mencari penginapan terdekat, termurah, dan termewah di sekitar bandara, hehe… kalau memang ada penginapan yang seperti itu sesuatu banget pastinya ya… tapi bakal gak bertahan lama, gulung tikar karena bangkrut merugi terus. Saya meneruskan perjalanan mencari dan memperhatikan tiap-tiap bangunan di pinggir jalan, berharap menemukan penginapan yang saya cari. Tak jarang tukang ojek menawari saya tumpangan, dalam hati saya geram. “Eh, mas ojek! situ gak liat apa!? tampang kayak saya ini tuh gak pantes naik ojek”. Walaupun pada kenyataannya saya memang sering melakukan hal yang tak pantas bagi saya itu. Saya sempat menemukan penginapan yang di papan pajangan depan pintunya bertuliskan “breakfast, lunch, dinner, AC”, kamar dengan fasilitas dan pelayanan seperti itu sudah pasti lebih dari 100.000 per malam-nya, sedangkan saya mencari (kalau ada) harga yang dibawah segitu.

mencari dan terus mencari... houoooo...
Saya mencari… terus mencari, berlari… dan terus berlari, mengejar penginapan murah meriah, murah bak kualitas film horor semibokep di negeri ini. Di kala itu tiba-tiba seorang supir taksi menyapa dan menawari saya tumpangan (akhirnya ada juga yang ma-lating-kan wajah saya dengan taksi), ia mendekati saya dan menanyakan saya mau kemana. Saya jawab jujur kalau saya sedang mencari penginapan meski saya sedang tidak butuh taksi.
“Mau kemana mas?” Tanya pak supir.
“Saya sedang cari penginapan pak”
“Oh, disana saja mas!” Pak supir menunjuk sebuah gang.
“ Berapaan kalau disana pak?”
“Delapan puluh ribuan ada.”
*Saya mengangguk-angguk.*
“Mari saya antar!” Katanya lagi.
Mmmmhhhh… pak supir baik deh :3
Saya kemudian mengikutinya bahkan ia juga memanggilkan pemiliknya segala. Saya memperhatikan bangunannya yang bertingkat, ada tiga kamar di lantai bawah dan tiga kamar di atasnya. Belum sempat saya mengucapkan terimakasih, tau-tau pak supir tadi sudah hilang ketika saya toleh kiri-kanan-belakang saya. Entahlah, mungkin barusan ada angin puyuh dahsyat lewat di belakang saya. Maicih ya pak supir… :3

“Kamar bawah semalamnya 130.000 mas, ada tivi dan pake springbed, kalau yang atas 85.000 cuma kasur.” kata pemiliknya, yang disebelahnya juga turut suaminya.
“Gak delapan puluh ribu aja ya mbak?” Saya nawar.
“Bisanya segitu mas” Balasnya nyengir.
Akhirnya saya ambil kamar atas yg paling murah itu. Ternyata disebelah kamar saya itu kamar kosan, berarti selain buat penginapan kamar-kamar disini juga buat indekos. Saya naik liat-liat kamarnya sebentar, ada kasur tok diatas lantai tanpa dipan dan kipas angin, tapi bagi saya yang terpenting ada colokan listriknya untuk menghabiskan waktu bersama laptop si unyil saya. Kemudian saya kebawah lagi mengambil barang-barang saya, tas dan kantong berisi oleh-oleh yang saya tinggal dibawah dan membawanya ke atas. Saya kebawah lagi buat ngangkatin koper, ternyata berat juga, tapi tunggu, aha! *ada lampu pijar nyala diatas kepala saya*, masa tamu sendiri yg repot-repot bawa barang-barang, pikir saya. Lebih baik saya meminta bantuan sama suami si mbak yang tadi membawa koper saya ke atas yang tangganya papan itu.

Sesampainya lagi diatas saya segera duduk-duduk berjuntai karena merasa lelah yang luar biasa dan teramat sangat sementara mas-nya setelah membantu membawakan koper saya ia balik ke bawah. Sementara itu saya mencoba menghirup nafas, mengecek nadi saya apa masih berdetak setelah kejadian tragis di bandara tadi. Angin yang berhembus di lantai dua itu terasa sangat kencang, sampai-sampai daun-daun dari pohon di depan kamar saya beterbangan masuk kamar. Suami pemilik penginapan ini kembali lagi ke kamar saya, ia membawa buku, sapu, dan sapu lidi kecil. Ia permisi membersihkan lantai kamar dari daun-daun yang masuk tadi dan menggebuk-gebuk kasur agar debunya hilang. Setelah itu ia membuka buku yg ia bawa tadi kemudian meminta KTP saya dan mencatat nama saya, canggih juga! Baru setelah itu saya memberikan uangnya dan dia menyerahkan kunci kamarnya. Mungkin ia ingat waktu saya menawar harga pas di bawah tadi ke istrinya hingga ia memulai membuka obrolan begini :
“Sebenarnya disini bisa dapat diskon mas, enggg….. tapi… mas-nya harus telanjang dulu.”
Deg! * saya speechless, tidak mengerti maksudnya, lidah saya tiba-tiba patah mau ngomong apa.
Mas-nya harus mau di foto telanjang.” katanya meneruskan.
“B…b…becanda mas?” Balas saya gagap
“Serius, biasanya ada yang mau kalau dia udah emang gak sanggup bayar lagi dan udah terpaksa. Bahkan kita kasih gratis, tapi dia harus mau kita foto telanjang, depan samping belakang, buat koleksi aja
Busett! Maksudnya apa buat koleksi?? Jangan-jangan mas ini germo lagi. Tapi saya tidak mau tanya macam-macam, yang terlintas dipikiran saya waktu itu adalah…
Cewe cowo mas?
Oh, enggak, cowo aja, kita gak bakalan sebarin gambarnya kok, di komputer ada kok foto-fotonya kalau mau liat buktinya.”
Whatzz!!?? saya bener-bener speechless mau ngomong apa, jangan jangan mas ini bukan germo, tapi homo!
“Makanya mas gak mau kan di foto telanjang?”
“Eng…enggak deh mas, makasih.”

ini dia penginapannya

Sepertinya mas itu masih ingin mengoprol saya, maksud saya mengobrol, mengobrol dengan saya, tapi sepertinya ia mungkin bisa aware melihat saya yang merinding merasa tidak enak mendengarnya (sangat tidak enak). Saya harus segera mencari cara agar ia pergi sebelum dia menempong saya secara paksa. Syukurlah, ternyata dia mengerti kata hati saya. Karena gerak-gerik saya, ia gelagapan dan pergi. Dan saya masih sempat menedang bokongnya hingga ia jatuh ke lantai bawah, dan tentu hal itu saya lakukan hanya dalam imajinasi saya. Entah usil atau memang bener apa yang dikatakannya tadi, sekarang saya tidak peduli, yang penting saya bisa sudah bisa tepar, melepas penat, sedikit melupakan semua carut marut ditengah-tengah pergolakan dunia yang kejam ini. Baru Sepersekian detik saya menutup mata saya, maaf, agak berlebihan, yang benar sekitar dua jaman kemudian saya kembali bangun dan membuka laptop, onlen buka fb dan twitter menghabiskan waktu. Ada tiga orang teman chatting saya waktu itu di fb, ketiga-tiganya saya bilangin kalo saya lagi di penginapan di Jakarta setelah mereka menanyakan sedang dimana saya berada, kamu dimana… dengan siapa… semalam berbuat apa…? Tak hanya di chat, di komen status pun saya juga bilang hal yang sama, hihi… kan malu kalo mereka tau. Alasan saya saat itu ke mereka adalah saya beli tiketnya pisah, maksudnya saya beli tiket Jogja-Jakarta itu pisah dengan Jakarta-Padang alias beda maskapai dengan tujuan ngirit, jeda atau selisihnya sehari, maka dari itu saya menginap di Jakarta dulu. Alasan yang cukup masuk akal bukan?

Kegiatan hari itu flat alias datar saja layaknya kegiatan anak kos seharian di saat libur tidak ada kuliah, tidak punya uang, tidak ada janji kelayapan, tidak punya pacar buat di apelin, tidak ada calling dari tante-tante arisan sebagai brondong panggilan, pokoknya anda tahulah kalo anda seperti itu seharian, di kamar ngapain aja? Ya makan, tidur, main laptop, pup, makan , tidur, main laptop, pup, makan lagi, tidur lagi, main laptop lagi, pup lagi, abis itu makan lagi, ti…, oke, oke, saya akan berenti sebelum anda melempar pup anda sendiri ke wajah saya.
Oia, ada satu kegiatan kecil yang nyempil diantara siklus tersebut, yaitu menelpon ayah! Kan gak lucu kalau besoknya saya gagal berangkat lagi gara-gara lupa minta dikirimin uang. Saya rada takut menceritakan semua ulah ketoledoran saya ini ke beliau. Oh no! bukan! Ayah saya bukan tipe orang yang keras dan pemarah, tapi takut disini maksudnya saya tidak enak bakal mengecewakan beliau, uang ratusan ribu yang diberikan ke saya untuk pulang melayang begitu saja karena kecerobohan saya. Jujur saya katakan disini kalau saya (sangat) menyayangi ayah. #hiks, jadi curcol *seka air mata*. Saya meneguhkan diri menceritakan semua dari A-Z ke beliau dengan rasa bersalah, respon beliau sama seperti biasa, respon yang sama jika saya berlaku salah atau benar, menjadi khas beliau sejak saya kecil sampai sekarang, yaitu tetap saja bicara santai tidak seperti sedang marah. Tapi bisa jadi kan dalam hati beliau kecewa? Setelah ayah memberi saya nasihat kecil beliau bilang kalau uangnya bakal dikirim besok pagi karena saat itu beliau sedang kerja. Satu yang saya sesali lagi setelah itu adalah, saya lupa mengucapkan… “Maaf”. Memang benar kalau kata maaf itu berat, bahkan saat sudah direncanakan sekalipun. Berat disini bagi saya juga mencakup “lupa”.

Esoknya, pagi-pagi jam delapan saya pun sudah siap dan sangat siap kembali ke bandara “Adi Soetjipto” yang kemarin telah mengkhianati saya. Mas pilotnya meninggalkan saya begitu saja berangkat on time dengan alasan profesionalitas, puas mas tampar saya, tampar lagi! #abaikan. Dengan gaya yang kece dan dandanan yang oke meski gak mandi (serius!) saya tetap pede keluar kamar menenteng semua barang bawaan saya kemudian turun tangga bak Cinderella yg sedang dinanti pangerannya dan memperhatikannya dari bawah. Berhubung saya pernah menjadi siswa teladan tingkat kabupaten, saya tidak lupa pamit sama mbak pemilik penginapan dengan ramah tamah dan tutur kata yang sopan serta grammar yang baik (syukur saya tidak bertemu suaminya).

Saya ingat penjaga konter kemarin bilang kalau saya harus pagi-pagi mengambil tiket, dan ini sudah jam 08.15. Di bandara saya ngalor ngidul berulang kali mengecek uang ke ATM. Waktu terus berjalan, pertama, kedua, sampai ketiga kalinya saya cek angka saldo saya dilayar ATM tidak juga bertambah-tambah. Ternyata ayah belum mengirim uangnya. Tuhan, plis… tambah satuuu aja nol-nya dibelakang untuk melepas kepepet saya sebentar. Syukurlah, sisa pulsa kemarin masih bisa cukup buat nelpon. Eh, ternyata uangnya baru mau dikirimin sama tukang ojek (ojeknya kepercayaan ayah saya mentransfer uang ke bank karena ayah sering tidak sempat) kata ayah saya. Karena saya sudah trauma sama kejadian kemarin, saya kebawa emosi, spontan dengan agak ketus (maaf ayah) saya meminta beliau buru-buru. Setelah itu dengan batin yang tidak tenang saya menunggu menghabiskan waktu dengan menonton tivi dekat pintu kedatangan. Setengah jam kemudian saya cek akhirnya uang saya sudah bertambah 500.000.

Lagi-lagi saya dihadapi dengan keadaan buru-buru, dihadapi dengan kegiatan lari-lari menuju agen, karena dibayangi-bayangi perkataan mas-nya kemarin kalau proses me-rebook ini bakal lama. Begitulah perjuangan seorang mahasiswa perantauan yang ingin pulang ke tanah kelahiran. Saya langsung memberikan kertas nota kecil yang dikasih kemarin ke konter agen tersebut masih dengan nafas ngos-ngosan setelah lari-lari plus mata yang melotot selebar-lebarnya.

Sambil mbak-nya memproses, saya sok-sokan menghitung uang 50.000an yang lumayan banyak yang barusan saya ambil dari ATM di dalam dompet dengan jari telunjuk saya layaknya bos-bos kantoran atau teller bank kalo lagi menghitung uang. Agar kesannya orang-orang yang melihat di sekitar saya mengira saya punya banyak uang, lebih banyak dari aslinya, saya men-double-kan hitungannya, yaitu menggesakkan telunjuk dua kali untuk satu lembar uangnya. Kemudian saya melakukannya lagi untuk mengeluarkan uang 877.000.

Gubrak! Ternyata prosesnya cuma sepuluh menitan, errrr… padahal saya sudah hampir modar lari-lari. Takut ketinggalan pesawat lagi karena prosesnya yang katanya lama itu. Tapi tidak apa-apa yang penting saya sudah dipastikan bisa pulang. Setelah tiket ada di tangan saya, saya disuruh langsung masuk karena boardingnya sudah dibuka. Saya lari jumpalitan menuju pintu masuk.

Ooooo… my sweety home , I’m cominggggg!!
>

Bersambung...

Dilema Naik Pesawat

Posted on Sabtu, 03 Maret 2012 | 2 komentar
welcome to adisutjipto airport

   Libur tlah tiba…
   Libur tlah tiba…
   Hore!
   Hore!







Hoho… ini kali pertama saya pulang kampung semenjak kuliah di Jogja. Saya sudah pesan tiket dua bulan sebelumnya demi mendapatkan tiket promo yang harganya bisa setengah harga tiket normal itu. Setelah mengubek-ubek internet mencari tiket promo termurah , akhirnya saya mendapat tiket seharga delapan ratus ribuan via Sriwijaya (beberapa hari setelah itu saya diberitahu tahu teman sekampung saya kalau dia dapat tiketnya seharga tujuh ratus ribuan, hiks). Berhubung minggu kemarinnya saya dikirimi email bahwa pesawat saya delay hingga jam 12.45 maka saya berencana berangkat dari kosan ke bandara dari jam 10 saja, takut ditinggal pesawat karena hal-hal tak terduga di jalan, especially “macet”.

Setelah menyelesaikan mandi wajib kembang tujuh rupa, saya segera packing yang dari kemarin-kemarin tidak kelar-kelar juga akibat tsunami malas 9.2SR yang mengguncang batin saya. Oleh-oleh yang kemarinnya saya beli di malioboro bareng Yandi (urang awak nan elok bana ko ha) pun sudah dipaket dengan apik dan menarik hanya dengan kresek bekas Indomaret. They are : bakpia pathok (wajib), tela cake, manisan buah, dll.

“Teng… teng… (sepuluh kali)” jam raksasa kerajaan asrama DP telah menunjukkan jam 10, itu artinya saya harus segera berangkat ke bandara sesuai rencana (bukan karena takut baju pesta dan kereta labu saya yang berasal dari kekuatan sihir ibu peri lenyap). Saya memakai kaos putih (yang juga beli kemarin) bertuliskan “Jogja” dengan font-nya filled motif batik. Barang bawaan saya yaitu koper Polo King andalan saya ketika bepergian jauh yang isinya baju-baju lengkap dengan kancut-kancutnya, kemudian tas Polo Millano (masih Polo, *pamer) hitam multifungsi berisi laptop dimana tas ini sering saya bawa ke kampus, dan oleh-oleh dikresekin tadi. Sebelum mengunci kamar saya menyempatkan diri sebentar say goodbye ke kamar saya, menatapi sekeliling kamar saya dengan penuh perasaan, meresapi energi mistis yang ada di kamar saya agar kamar saya tetap selalu aman selama ditinggal dengan cara berkomunikasi ke makh… eh, amit-amit dah! Setelah memerhatikan tiap sudut kamar memastikan bahwa tidak ada barang yang tertinggal saya baru sadar bahwa kamar kos saya sudah bablas seperti habis kemalingan, ternyata barang-barang saya sampai yang tidak penting saya bawa semua akibatnya saya kerepotan membawa semua barang bawaan saya itu selama berjalan menuju halte busway. Saya heran kenapa juga saya bawa barang sebanyak ini? Agak malu juga diliatin ketika pamit sama resepsionis, petugas asrama, dan teman seasrama yang berpapasan waktu itu. Diliatin orang dijalan, dan juga ketika saya disapa sama pedagang lontong sayur dan beberapa pedagang kaki lima lainnya di trotoar stadion Mandala Krida sepanjang berjalan ke halte, apah? disapa pedagang? iyah, karena memang, saya orang yang murah hati, bukan murah bodi, selalu ramah tamah pada siapa saja dan mengayomi masyarakat kecilsigh. Hehe... sebenarnya karena saya memang sering makan di trotoar sana.

Perjalanan menuju bandara aman dan lancar, namun tidak selancar mbak kernet busway yang berniat menolong saya nentengin barang-barang saya keluar bus ketika saya sampai. Waktu itu saya kerepotan menyeret barang-barang saya keluar bus kemudian mbak kernet itu mencoba membantu saya, tapi saat baru disentuh sebentar belum sempat koper saya ditariknya dia sudah bilang :
“Maaf mas, berat”
“Gak apa-apa kok mbak, makasi, saya bisa sendiri kok” balas saya, orang yang murah hati, bukan murah bodi , selalu ramah tamah pada siapa saja dan mengayomi masyarakat kecil - apasih. Padahal sebenarnya barang-barang saya tidak berat-berat amat.

Setibanya di bandara “sesuatu” yang saya cari terlebih dahulu adalah pulsa. Di pintu bandara saya bertemu seorang bapak-bapak berbadan tegap, berkulit sawo matang, berwajah Xanana Gusmao , penampilannya bak pensiunan tentara. Namun tidak sepadan dengan suaranya yang ternyata cempreng. Ia tempat saya bertanya konter pulsa terdekat.
“Di dalam bandara pulsa mahal, mending beli di seberang jalan sana aja dek, di dekat sana bla bla….” Jawab bapak tadi panjang kali lebar.
Kalo soal harga di bandara mah saya juga udah tahu kalo segalanya mahal. Konter pulsa rujukan si bapak ternyata jauh juga. Saya malas kalau mesti kerepotan lagi jalan kaki jauh-jauh sambil bawa barang-barang saya. Ya sudah, saya putuskan beli pulsanya di dalam bandara saja karena ketika saya minta tolong nitip barang saya ke dia agar saya bisa jalan kaki saja ia menolak karena ia cuma sebentar berdiri disitu. Di pintu masuk bandara saya bak kembang desa yang dikirim menjadi TKI ke negeri jiran pertama kali berada di bandara, saya celingak-celinguk memperhatikan harga-harga jejeran restoran disana nyambi mencari konter pulsa. Meskipun saya sudah beberapa kali ke bandara, tapi saya tetap penasaran dengan harga-harganya, mencari rekor harga termurah makanan di bandara. Contohnya Dunkin Donats atau es krim Robins, harganya menanjak dua kali lipat dari harga standar jika dibandara. Alhasil saya menemukan konter pulsa, you know what? Pulsa lima ribu ternyata dijual seharga sembilan ribu! Asemm…pak! >.<

Sekitar jam sebelas saya check-in. Petugas check-in mengecek e-tiket saya agak lama, dari situ feeling saya mulai tidak enak. Baru saja melewati proses metal detecting, saya ditawari jasa pengikatan barang di depan boarding pass oleh seseorang, saya yang mulai gelisah karena boarding maskapai saya masih belum buka juga langsung meng-iya-kan saja.
“Sepuluh ribu mas!” tiba-tiba saya dimintai bayarannya. Buset! Perasaan ini tuh gak bayar deh karena seingat saya waktu di BIM (Bandara Internasional Minangkabau) jasa kayak beginian tidak bayar. Namun galau saya tidak berhenti disitu, saya masih gelisah tentang boarding saya yang belum buka juga. Seharusnya jam segini sudah buka, pikir saya. Ternyata mas jasa mengikat barang tadi memperhatikan ke-cengo-an saya. Ia menanyakan dan minta lihat tiket saya, kemudian ia agak lama dan kebingungan melihat e-tiket saya entah karena dianya tidak bisa baca atau mungkin bisa tapi tidak bisa mengejanya
“Eng…. tunggu aja mas” katanya. Saya memperhatikan layar LCD jadwal keberangkatan. Pesawat keberangkatan ke Padang berangkat jam 10.00, mungkin itu jadwal ke Padang shift pagi pikir saya, lalu saya untuk pertama kali sejak e-tiket ini dicetak memperhatikan e-tiket saya sendiri, disana tertulis pesawat berangkat jam 10.00! Yang tertanam dipikiran saya saat itu adalah jadwal delay pesawat saya di e-mail yaitu jam 12.30, tapi di layar tidak ada keberangkatan ke Padang jam 12.30. Saya mulai panik, makin lama makin jadi, ada yang tidak beres dengan e-mail kemarin. Saya gelisah dan bertanya pada seorang security dengan tampang kusut.
“Permisi pak, bagian informasi penerbangan dimana ya?”
“ Maskapainya apa mas?”
“Sriwijaya.”
“Coba cari di luar, di depan ada berjejer layanan informasi beberapa maskapai, di arah sana”
“Lah! emangnya boleh keluar lagi pak?!”
“Bisa kok, lewat sana!”
“Makasi pak”

Saya bergegas, sedikit berlari keluar memerhatikan betul konter agen tiap-tiap maskapai. Setelah menemukan konter Sriwijaya saya langsung antri. Di depan saya ada bule, rambutnya kriwil memakai kemeja pantai motif bunga-bunga berwarna merah. Saya mendengar dialog bule itu dengan penjaga konter dalam bahasa inggris, gini-gini saya pernah dapat nilai rapot sembilan untuk mata pelajaran bahasa inggris, jadi saya bisa sedikit menangkap pembicaraan mereka bahwa sepertinya ada masalah kesalahan nama keluarga si bule di kartu yang sedang ia pegang, saya tidak tau kartu apa, pokoknya berkaitan dengan perjalanan luar negri. Ekspektasi saya kalau saya bakal menunggu lama ternyata memang benar. Saya tidak tenang, “woi! Cepetan donk mister! buruan!” Saya teriak-teriak dalam hati.
di dalam keramaian aku masih merasa "galau"
Lama menunggu akhirnya si bule pergi juga. Dengan terbata-bata plus tempo yang cepat saya mengadu ke mas customer service itu.
“Mas, ini benar kan berangkatnya jam 12.30?” sembari memperlihatkan tiket.
“Kalau ini sudah berangkat mas” *Deg!
”Tapi minggu lalu saya dikirimin e-mail kalau pesawatnya delay sampai jam 12.30.” Saya baru menyadari kalau itu tidak masuk akal memang, masa yang semestinya berangkat jam 10 delay-nya sampai jam 12.30. Kemudian customer service tadi mengecek di komputernya, sementara itu saya harap-harap cemas, dalam hati saya meminta keajaiban dari tuhan “Ya tuhan semoga aja yang saya takutkan tidak benar, semoga aja tidak.” Kemudian dia menoleh ke saya dan menatap saya dengan pandangan iba *tidak ada harapan.“Maaf mas, yang delay itu penerbangan dari Jakarta, yaitu penerbangan Jakarta-Padang pas transit, kalau dari sini tetap.”
Jderr…!!! Saya serasa disambar petir (ngasal, padahal belum pernah disambar petir, gatau rasanya kayak gimana). Tiba-tiba petir, kilat, langit menjadi kelam, ditambah raungan serigala menyertai suasana gelap itu. Begitulah gambaran cuaca Jogja yang cerah di mata alam bawah sadar saya yang terserang hang waktu itu. Pikiran saya blank, kosong, lemas, campur baur, saya mengurut-ngurut kening saya, depresi. Mbak-mbak disebelah mas itu curi-curi pandang ke saya dengan mimik iba. Ia melengos lagi ketika saya pandang balik. Mas-nya bilang saya tidak bisa dapat credit refund, karena tiket saya tiket promo, kemudian ia menawarkan saya rebook flight tapi kena charge 50% dari harga normal hari itu buat penerbangan besok.
“Kalau iya saya kena berapa?” Tanya saya.
Dia lalu menghitung totalnya dengan mengetik-ngetik keyboard di depannya "tik tak tik tak…" begitulah suaranya agak lama sembari saya menunggu dengan wajah masam. Sedangkan mbak-mbak di sebelahnya tadi masih saja curi-curi pandang ke saya, tapi saya tidak peduli karena pikiran saya sudah mengambang tidak fokus.
“Jumlah totalnya 877.000 mas!” Kata penjaga konter tadi.
WTH! Itu kan tidak jauh beda dengan harga tiket promosi yang saya beli, tidak sampai 877.000 malah! Berarti harga hari itu sudah mencapai... 1,6 jutaan!!
Anjirr…! Perasaan saya tambah sesak, sementara saya ingat uang saya di ATM tinggal 700.000-an, tapi saya tetap kepingin pulang, jalan satu-satunya adalah meminta ayah mentransfer uang tambahan.
“Jadi gimana mas? Jadi atau mau dibatalkan?” kata mas tadi memecah pikiran saya. Saya tidak enak juga sama orang yang ngantri dibelakang saya.
“I i iya, jadi, tapi bayarnya? sekarang?”
“Bisa besok kok, nah, ini disimpan buat besok ya!” Katanya sambil memberikan saya nota kecil.
“Besok berangkat masih jam 10, datangnya agak pagi aja ya mas, prosesnya agak lama soalnya.”. Berkali-kali dia menekankan agar saya datang lebih pagi. Sepertinya dia juga prihatin takut saya ketinggalan pesawat lagi.

Saya meninggalkan konter agen tadi dengan badan lunglai. Mungkin kalau tidak ada orang yang melihat saya bakal nangis guling-guling dilantai bandara itu. Saya menyeret kembali barang bawaan saya dengan perasaan sedih seolah-olah saya sedang di sebuah adegan sinetron dimana saya diusir oleh ibu tiri dari rumah sendiri. Saya bingung mau kemana. Kalau saya balik asrama saya malu, tidak terbayang bagaimana reaksi orang-orang asrama begitu tau saya balik lagi karena ketinggalan pesawat, selain itu saya juga takut besoknya telat karena macet, soalnya asrama-bandara lumayan jauh. Saya mutar-mutar bandara lalu duduk di pojokan, bosan, saya buka laptop cek facebook, twitter, ngenet sampai baterainya soak. Saya sempat niat buat bermalam di bandara saja, tapi saya pikir-pikir lagi kenapa tidak cari penginapan dulu aja, siapa tahu ada yang harganya terjangkau, tidur di bandara malu diliat orang, manja amat.
Saya kemudian bangkit, berpikir bahawa semua ini hanyalah dunia belaka. Dalam hati saya berseru “Ayo Deki! Kamu bisa!!”.
Diiringi lagu “Eye of The Tiger”-nya Survivor saya berdiri, bangkit. Saya terus bernyanyi membereskan barang bawaan saya. Nyanyian suara saya menggema di tiap sudut bandara. Kemudian saya berjalan dengan semangat 45 keluar bandara bernyanyi mengangguk-anggukkan kepala seiring dentuman musik. 


Risin' up!
 back on the street
Did my time, took my chances
Went the distance now i'm back on my feet
Just a man and his will to survive

So many times 
It happens too fast
You trade your passion for glory
Don't lose your grip on the dreams of the past
You must fight just to keep them alive

It's the eye of the tiger
It's the thrill of the fight
Risin' up to the challenge of our rival
And the last 
known survivor stalks his prey in the night
And he's watching us all with the
Eyeeeee....


Pas dibagian lirik itu saya sampai di gerbang bandara. Saya berbalik menoleh bandara, lalu mengacungkan jari tengah saya ke bangunan itu. Kemudian melanjutkan bagian terakhirnya...

OF THE TIGER....

Yeaaahhh….! 

Penilaian anda benar, saya tidak mungkin melakukan hal itu, karena saya bisa disangka orang gila oleh orang-orang yang melihat saya disekitar.







Bersambung...

Followers