Fyuuuhhh…. Berkat ketabahan dan ketegaran hati saya, sekarang saya sudah mulai sumringah melangkah meninggalkan bandara. Ketinggalan pesawat untuk pertama kalinya adalah “sesuatu” pengalaman berharga dan mahal harganya. Iya, mahal. Pengalaman seharga 870.000 (harga tiket awal yang saya beli) itu menjadi pelajaran kedepannya bagi saya .
(Silakan baca post sebelumnya disini)
(Silakan baca post sebelumnya disini)
![]() |
penginapan pertama yang saya temukan |
![]() |
mencari dan terus mencari... houoooo... |
“Mau kemana mas?” Tanya pak supir.
“Saya sedang cari penginapan pak”
“Oh, disana saja mas!” Pak supir menunjuk sebuah gang.
“ Berapaan kalau disana pak?”
“Delapan puluh ribuan ada.”
*Saya mengangguk-angguk.*
“Mari saya antar!” Katanya lagi.
Mmmmhhhh… pak supir baik deh :3
Saya kemudian mengikutinya bahkan ia juga memanggilkan pemiliknya segala. Saya memperhatikan bangunannya yang bertingkat, ada tiga kamar di lantai bawah dan tiga kamar di atasnya. Belum sempat saya mengucapkan terimakasih, tau-tau pak supir tadi sudah hilang ketika saya toleh kiri-kanan-belakang saya. Entahlah, mungkin barusan ada angin puyuh dahsyat lewat di belakang saya. Maicih ya pak supir… :3
“Kamar bawah semalamnya 130.000 mas, ada tivi dan pake springbed, kalau yang atas 85.000 cuma kasur.” kata pemiliknya, yang disebelahnya juga turut suaminya.
“Gak delapan puluh ribu aja ya mbak?” Saya nawar.
“Bisanya segitu mas” Balasnya nyengir.
Akhirnya saya ambil kamar atas yg paling murah itu. Ternyata disebelah kamar saya itu kamar kosan, berarti selain buat penginapan kamar-kamar disini juga buat indekos. Saya naik liat-liat kamarnya sebentar, ada kasur tok diatas lantai tanpa dipan dan kipas angin, tapi bagi saya yang terpenting ada colokan listriknya untuk menghabiskan waktu bersama laptop si unyil saya. Kemudian saya kebawah lagi mengambil barang-barang saya, tas dan kantong berisi oleh-oleh yang saya tinggal dibawah dan membawanya ke atas. Saya kebawah lagi buat ngangkatin koper, ternyata berat juga, tapi tunggu, aha! *ada lampu pijar nyala diatas kepala saya*, masa tamu sendiri yg repot-repot bawa barang-barang, pikir saya. Lebih baik saya meminta bantuan sama suami si mbak yang tadi membawa koper saya ke atas yang tangganya papan itu.
Sesampainya lagi diatas saya segera duduk-duduk berjuntai karena merasa lelah yang luar biasa dan teramat sangat sementara mas-nya setelah membantu membawakan koper saya ia balik ke bawah. Sementara itu saya mencoba menghirup nafas, mengecek nadi saya apa masih berdetak setelah kejadian tragis di bandara tadi. Angin yang berhembus di lantai dua itu terasa sangat kencang, sampai-sampai daun-daun dari pohon di depan kamar saya beterbangan masuk kamar. Suami pemilik penginapan ini kembali lagi ke kamar saya, ia membawa buku, sapu, dan sapu lidi kecil. Ia permisi membersihkan lantai kamar dari daun-daun yang masuk tadi dan menggebuk-gebuk kasur agar debunya hilang. Setelah itu ia membuka buku yg ia bawa tadi kemudian meminta KTP saya dan mencatat nama saya, canggih juga! Baru setelah itu saya memberikan uangnya dan dia menyerahkan kunci kamarnya. Mungkin ia ingat waktu saya menawar harga pas di bawah tadi ke istrinya hingga ia memulai membuka obrolan begini :
“Sebenarnya disini bisa dapat diskon mas, enggg….. tapi… mas-nya harus telanjang dulu.”
Deg! * saya speechless, tidak mengerti maksudnya, lidah saya tiba-tiba patah mau ngomong apa.
“Mas-nya harus mau di foto telanjang.” katanya meneruskan.
“B…b…becanda mas?” Balas saya gagap
“Serius, biasanya ada yang mau kalau dia udah emang gak sanggup bayar lagi dan udah terpaksa. Bahkan kita kasih gratis, tapi dia harus mau kita foto telanjang, depan samping belakang, buat koleksi aja”
Busett! Maksudnya apa buat koleksi?? Jangan-jangan mas ini germo lagi. Tapi saya tidak mau tanya macam-macam, yang terlintas dipikiran saya waktu itu adalah…
“Cewe cowo mas?”
“Oh, enggak, cowo aja, kita gak bakalan sebarin gambarnya kok, di komputer ada kok foto-fotonya kalau mau liat buktinya.”
Whatzz!!?? saya bener-bener speechless mau ngomong apa, jangan jangan mas ini bukan germo, tapi homo!
“Makanya mas gak mau kan di foto telanjang?”
Sepertinya mas itu masih ingin mengoprol saya, maksud saya mengobrol, mengobrol dengan saya, tapi sepertinya ia mungkin bisa aware melihat saya yang merinding merasa tidak enak mendengarnya (sangat tidak enak). Saya harus segera mencari cara agar ia pergi sebelum dia menempong saya secara paksa. Syukurlah, ternyata dia mengerti kata hati saya. Karena gerak-gerik saya, ia gelagapan dan pergi. Dan saya masih sempat menedang bokongnya hingga ia jatuh ke lantai bawah, dan tentu hal itu saya lakukan hanya dalam imajinasi saya. Entah usil atau memang bener apa yang dikatakannya tadi, sekarang saya tidak peduli, yang penting saya bisa sudah bisa tepar, melepas penat, sedikit melupakan semua carut marut ditengah-tengah pergolakan dunia yang kejam ini. Baru Sepersekian detik saya menutup mata saya, maaf, agak berlebihan, yang benar sekitar dua jaman kemudian saya kembali bangun dan membuka laptop, onlen buka fb dan twitter menghabiskan waktu. Ada tiga orang teman chatting saya waktu itu di fb, ketiga-tiganya saya bilangin kalo saya lagi di penginapan di Jakarta setelah mereka menanyakan sedang dimana saya berada, kamu dimana… dengan siapa… semalam berbuat apa…? Tak hanya di chat, di komen status pun saya juga bilang hal yang sama, hihi… kan malu kalo mereka tau. Alasan saya saat itu ke mereka adalah saya beli tiketnya pisah, maksudnya saya beli tiket Jogja-Jakarta itu pisah dengan Jakarta-Padang alias beda maskapai dengan tujuan ngirit, jeda atau selisihnya sehari, maka dari itu saya menginap di Jakarta dulu. Alasan yang cukup masuk akal bukan?
Kegiatan hari itu flat alias datar saja layaknya kegiatan anak kos seharian di saat libur tidak ada kuliah, tidak punya uang, tidak ada janji kelayapan, tidak punya pacar buat di apelin, tidak ada calling dari tante-tante arisan sebagai brondong panggilan, pokoknya anda tahulah kalo anda seperti itu seharian, di kamar ngapain aja? Ya makan, tidur, main laptop, pup, makan , tidur, main laptop, pup, makan lagi, tidur lagi, main laptop lagi, pup lagi, abis itu makan lagi, ti…, oke, oke, saya akan berenti sebelum anda melempar pup anda sendiri ke wajah saya.
Oia, ada satu kegiatan kecil yang nyempil diantara siklus tersebut, yaitu menelpon ayah! Kan gak lucu kalau besoknya saya gagal berangkat lagi gara-gara lupa minta dikirimin uang. Saya rada takut menceritakan semua ulah ketoledoran saya ini ke beliau. Oh no! bukan! Ayah saya bukan tipe orang yang keras dan pemarah, tapi takut disini maksudnya saya tidak enak bakal mengecewakan beliau, uang ratusan ribu yang diberikan ke saya untuk pulang melayang begitu saja karena kecerobohan saya. Jujur saya katakan disini kalau saya (sangat) menyayangi ayah. #hiks, jadi curcol *seka air mata*. Saya meneguhkan diri menceritakan semua dari A-Z ke beliau dengan rasa bersalah, respon beliau sama seperti biasa, respon yang sama jika saya berlaku salah atau benar, menjadi khas beliau sejak saya kecil sampai sekarang, yaitu tetap saja bicara santai tidak seperti sedang marah. Tapi bisa jadi kan dalam hati beliau kecewa? Setelah ayah memberi saya nasihat kecil beliau bilang kalau uangnya bakal dikirim besok pagi karena saat itu beliau sedang kerja. Satu yang saya sesali lagi setelah itu adalah, saya lupa mengucapkan… “Maaf”. Memang benar kalau kata maaf itu berat, bahkan saat sudah direncanakan sekalipun. Berat disini bagi saya juga mencakup “lupa”.
Esoknya, pagi-pagi jam delapan saya pun sudah siap dan sangat siap kembali ke bandara “Adi Soetjipto” yang kemarin telah mengkhianati saya. Mas pilotnya meninggalkan saya begitu saja berangkat on time dengan alasan profesionalitas, puas mas tampar saya, tampar lagi! #abaikan. Dengan gaya yang kece dan dandanan yang oke meski gak mandi (serius!) saya tetap pede keluar kamar menenteng semua barang bawaan saya kemudian turun tangga bak Cinderella yg sedang dinanti pangerannya dan memperhatikannya dari bawah. Berhubung saya pernah menjadi siswa teladan tingkat kabupaten, saya tidak lupa pamit sama mbak pemilik penginapan dengan ramah tamah dan tutur kata yang sopan serta grammar yang baik (syukur saya tidak bertemu suaminya).
Saya ingat penjaga konter kemarin bilang kalau saya harus pagi-pagi mengambil tiket, dan ini sudah jam 08.15. Di bandara saya ngalor ngidul berulang kali mengecek uang ke ATM. Waktu terus berjalan, pertama, kedua, sampai ketiga kalinya saya cek angka saldo saya dilayar ATM tidak juga bertambah-tambah. Ternyata ayah belum mengirim uangnya. Tuhan, plis… tambah satuuu aja nol-nya dibelakang untuk melepas kepepet saya sebentar. Syukurlah, sisa pulsa kemarin masih bisa cukup buat nelpon. Eh, ternyata uangnya baru mau dikirimin sama tukang ojek (ojeknya kepercayaan ayah saya mentransfer uang ke bank karena ayah sering tidak sempat) kata ayah saya. Karena saya sudah trauma sama kejadian kemarin, saya kebawa emosi, spontan dengan agak ketus (maaf ayah) saya meminta beliau buru-buru. Setelah itu dengan batin yang tidak tenang saya menunggu menghabiskan waktu dengan menonton tivi dekat pintu kedatangan. Setengah jam kemudian saya cek akhirnya uang saya sudah bertambah 500.000.
Lagi-lagi saya dihadapi dengan keadaan buru-buru, dihadapi dengan kegiatan lari-lari menuju agen, karena dibayangi-bayangi perkataan mas-nya kemarin kalau proses me-rebook ini bakal lama. Begitulah perjuangan seorang mahasiswa perantauan yang ingin pulang ke tanah kelahiran. Saya langsung memberikan kertas nota kecil yang dikasih kemarin ke konter agen tersebut masih dengan nafas ngos-ngosan setelah lari-lari plus mata yang melotot selebar-lebarnya.
Sambil mbak-nya memproses, saya sok-sokan menghitung uang 50.000an yang lumayan banyak yang barusan saya ambil dari ATM di dalam dompet dengan jari telunjuk saya layaknya bos-bos kantoran atau teller bank kalo lagi menghitung uang. Agar kesannya orang-orang yang melihat di sekitar saya mengira saya punya banyak uang, lebih banyak dari aslinya, saya men-double-kan hitungannya, yaitu menggesakkan telunjuk dua kali untuk satu lembar uangnya. Kemudian saya melakukannya lagi untuk mengeluarkan uang 877.000.
Gubrak! Ternyata prosesnya cuma sepuluh menitan, errrr… padahal saya sudah hampir modar lari-lari. Takut ketinggalan pesawat lagi karena prosesnya yang katanya lama itu. Tapi tidak apa-apa yang penting saya sudah dipastikan bisa pulang. Setelah tiket ada di tangan saya, saya disuruh langsung masuk karena boardingnya sudah dibuka. Saya lari jumpalitan menuju pintu masuk.
Ooooo… my sweety home , I’m cominggggg!!
>
Bersambung...